28 November 2007

Jakarta Ohh Jakarta..


Akhir-akhir ini, banyak departemen-departemen yang dipimpin para menteri kita melakukan rekrutmen CPNS. Departemen Luar Negeri, Departemen Dalam Negeri, Departemen Pekerjaan Umum, Departemen Perhubungan, Departemen Kehutanan, Sekretariat Negara, de es be... Mmm, lumayan menggiurkan bukan? Gaji tetap tiap bulan, plus tunjangan-tunjangan, masih ditambah dana pensiun untuk jaminan hari tua serasa membuai angan-angan setiap orang untuk menjajal kesempatan ini. Tetapi alangkah sayangnya, tes seleksi rekrutmen dilaksanakan secara terpusat, di ibukota DKI Jakarta (kecuali Depdagri, testnya di IPDN Jatinangor). Tidak hanya departemen, bank-bank pemerintah maupun swasta dan berbagai perusahaan juga setali tiga uang. Tidak hanya tempat test, malah banyak rekrutmen dengan penempatan Jakarta. Sekali lagi Jakarta.. Sekali lagi, bisa dapet piring cantik nih.. Hehehe..

Masih jadi pertanyaan yang cukup menggelitik,.kenapa juga Jakarta lagi Jakarta lagi..?! Kota dengan living cost dan social cost yang tinggi, penuh dengan hal-hal yang bisa bikin stress seperti; kemacetan, polusi, kriminalitas dan kepadatan penduduk (yang hari demi hari koq sepertinya semakin parah aja) sepertinya sangat tidak kondusif untuk dijadikan tempat tes seleksi CPNS bagi seluruh generasi intelektual kita yang tersebar dari Sabang sampai Merauke.. Kenapa tidak ada kebijakan rekrutmen dengan asas keadilan..?! Kenapa juga tidak dibuat sistem seperti audisi Indonesian Idol yang di selenggarakan di beberapa kota yang cukup bisa merepresentasikan potensi-potensi di tingkat lokal (macam kita-kita ini.. ;p). Kalau mau negative thinking, mungkin ada bias isu otonomi daerah yang ujung-ujungnya menimbulkan “kekhawatiran” manajemen pendanaan rekrutmen (takut dijadiin obyekan orang daerah kah??). Males banget yaa orang-orang atas (baca:pusat) itu? Males ke bawah (baca:daerah).. Padahal yang di bawah banyak potensi unggulnya juga lho.. Tapi, kalau mau positive thinking, mungkin alasan anggaran terbatas dan efisiensi anggaran bisa dikedepankan. Yah,kalau boleh meminjam istilahnya Kid Rock, “ only God know why.. “ geetoo..

Seperti yang sudah kita pahami luar kepala, bahwa Jakarta sangat terkenal dengan kepadatan penduduknya. Menurut data terakhir Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil DKI Juni 2007 saja, penduduk DKI Jakarta sudah menembus angka 7.552.444 jiwa. Tapi kenapa juga masih mau nambah-nambah jumlah penduduk dengan sistem dan pola rekrutmen karyawan/pegawai seperti itu.. Pemerintah dan para penguasa kita seolah menafikkan hal ini. Terkesan tidak konsisten dengan usahanya selama ini untuk membatasi jumlah pendatang ke ibukota ini. Kurang koordinasi kah, atau tidak ada komunikasi dan kerjasama kah? Nah, malah bikin mumet kan?? Dengan pola rekrutmen dan penempatan kerja terpusat (di Jakarta), sepertinya malah menambah permasalahan yang sudah ada. Para pencaker (pencari kerja) akan berduyun-duyun datang ke Jakarta. Dan tidak mustahil mereka yang gagal pada suatu proses rekrutmen/ seleksi akan stay di Jakarta untuk menjajal di lain tempat. Nah, apa tidak terpikirkan hal semacam ini? Dengan pembiaran-pembiaran semacam ini, jelaslah Jakarta makin sumpek, macet, padet bin ruwet.

Biang dari permasalahan ini semua ada pada superioritas dan keangkuhan Jakarta yang “dibentuk” menjadi sentral kegiatan segala bidang demi mempermudah ‘Kontrol” (by “You know Who”, since several decade ago). Jakarta jadi pusat pembangunan. Semua fasilitas dan infrastruktur yang menunjang investasi di segala bidang bercokol di kota ini. Ya, karena Jakarta punya segalanya. Jelaslah ini yang membuat para investor tergiur untuk melakukan deversifikasi investasi di kota ini. Lalu bagaimana solusi yang pas? Razia KTP, operasi yustisi, transmigrasi, rumah susun atau bagaimana Pak? Bu? Mungkin selama ini sudah ada banyak program pemerintah pusat maupun pemerintah propinsi DKI Jakarta dalam mengelola masalah ini, hanya mungkin kurang “terdengar” gaungnya dan efeknya hanya sesaat saja. Kalau mau adil, ada dua poin utama yang perlu diperhatikan dan direalisasikan untuk mengatasi masalah kepadatan penduduk di Jakarta: Pertama, Distribusi kapital secara umum ke seluruh wilayah Indonesia, secara adil, konsisten dan berkelanjutan (pemerataan pembangunan di segala bidang/sektor). Jangan kondisikan Jakarta sebagai pusat aktifitas (dan investasi) segala macam bidang, karena itu yang akan selalu menjadi magnet bagi para pendatang. Kedua, Distribusi penduduk Jakarta (bukan asli Jakarta/pendatang) yang tidak produktif dan tidak berkontribusi positif, untuk bertransmigrasi ke daerah-daerah jarang penduduk, misalnya Papua, itung-itung untuk menetralisir polusi yang telah mereka hirup bertahun-tahun.. (Hehehe, make sense juga!!).

Tentu saja untuk merealisasikannya sangatlah tidak mudah. Ini perlu perhatian lebih dan kerjasama yang sinergis dari para penguasa/pemerintah pusat, pemprop DKI Jakarta dengan pemerintah lokal untuk menciptakan situasi kondusif agar faktor-faktor produksi dan investasi bisa ‘hidup’ di daerah-daerah. Sekali lagi agar tercipta pemerataan pembangunan di segala bidang dan di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, demi “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia” (walah-walah malah kayak kampanye.. Hehehe..).

Mari kita support dan we'll see..


 
blog design by suckmylolly.com

Template Modified and Brought to you by : AllBlogTools.com blogger templates