Pemilu Legislatif akan digelar 9 April 2009 nanti, 30 hari lagi, tepat 6 hari setelah ulang tahun saya. Hehehe, gak penting banget nih disebut-sebut). Tidak lama lagi memang. Makin dekatnya batas waktu kampanye harus berakhir, semakin gencar dan getol sepertinya mereka, para caleg mempromosikan dan “menjual”dirinya. Bukan soal caleg dan kampanyenya yang mau saya bicarakan kali ini. Saya ingin bersuara mengenai fenomena golput/golongan putih.
Fenomena Golput sudah lazim terdengar sejak dulu. Sebuah golongan yang menyatakan tidak menggunakan hak pilihnya untuk memilih salah satu kandidat, maupun parpol. Kalau menurut saya sih, golput ataupun tidak, itu merupakan hak. Bukankah kita sering mendengar sebuah istilah/frase: hak pilih dan bukan kewajiban memilih? Dari SD pun kita sudah mengetahui bahwa menggunakan hak pilih dalam Pemilu merupakan hak seorang warga negara yang telah memenuhi kriteria pemilih. Sekali lagi hak, bukan kewajiban. Hak itu terserah kita, mau kita gunakan atau tidak hak kita. Sedangkan kalau kewajiban hukumnya harus dilakukan.
Dengan adanya fenomena fatwa haram bagi golput, berarti ada proses penggeseran yang cukup mendasar. Dari hak warga negara, menjadi kewajiban warga negara. Haram, berarti dosa apabila dilakukan. Apakah manusia maupun sekelompok manusia bisa memberikan dan menjustifikasi sebuah dosa bagi orang lain? Bukankah itu adalah kuasa Tuhan? Karena yang mengeluarkan fatwa adalah MUI, maka fatwa ini hanya mengikat umat Muslim saja. Bagaimana dengan umat agama lain? Koq aneh ya, menurut saya. Sebuah tindakan politis warga negara dikaitkan dengan spiritualitas mereka.
Ada beberapa penyebab Golput menurut saya, a.l:
Bisa saja karena mereka sudah apatis terhadap proses sirkulasi elit poltik yang siapapun itu dan parpol apapun itu yang terpilih, mereka sudah pesimis kandidat/parpol terpilih bisa memperbaiki kualitas kehidupan rakyat Indonesia.
Sebuah reaksi atas ketidakpuasan dan ketidakpercayaan pada sebuah sistem dan mekanisme elektoral yang merupakan jalan menuju sirkulasi elit (politik).
Orang-orang yang buta akan politik, baik tentang sistem maupun proses sirkulasi elitnya, yang mana hal itu menjadikan mereka pasrah, siapapun yang terpilih menjadi elit politik di negara mereka.
Bila memutuskan untuk menggunakan hak pilih untuk Pemilu nanti baik legislatif maupun pilpres, pilihlah caleg/parpol/capres&cawapres yang menawarkan keberlanjutan komunikasi politik dengan konstituen dan pemilihnya pasca pemilu, karena dengan begitu kita bisa dengan mudah melakukan control politik dan mengartikulasikan kepentingan kita, rakyat, agar disuarakan di lembaga legislatif sehingga bisa digodhog untuk kemudian menghasilkan sebuah kebijakan (mekanisme sistem politik Gabriel Almond). Dan, jangan pilih kandidat/parpol yang hanya melakukan komunikasi politik untuk memperoleh suara pra pemilu saja, karena bisa dipastikan akan “terputusnya” mata rantai sistem politik, karena kita hanya dimanfaatkan untuk mendulang suara saja. “Habis manis sepah dibuang”.
Kembali lagi pada kita masing-masing, yang sudah dewasa dan bijak dalam menentukan sikap. So, jangan sampai kita salah pilih kandidat/parpol. Lakukan analisis/riset kecil-kecilan ataupun pertimbangkan masak-masak sebelum menentukan pilihan, kalau kita tidak mau menyesal.